
Korupsi: Stadium 4 Demokrasi
Korupsi di Indonesia telah mencapai titik yang begitu kronis, sehingga istilah “stadium 4” bukan lagi hiperbola, melainkan diagnosis yang akurat. Kita tidak sedang berhadapan dengan praktik menyimpang yang insidental, melainkan dengan sebuah sistem yang secara struktural membiarkan korupsi tumbuh, beranak-pinak, dan menjadi bagian dari mekanisme kekuasaan itu sendiri.
Hukum yang Tumpul di Hadapan Kekuasaan
Dalam teori hukum positivis Hans Kelsen, hukum dipandang sebagai norma yang berlaku tanpa terikat pada nilai maupun kekuasaan. Namun, realitas di Indonesia menunjukkan hal sebaliknya: hukum sering kali tunduk pada kepentingan politik maupun kepentingan kelompok tertentu.
Penegakan hukum kerap lebih sibuk mempertimbangkan siapa pelakunya dan apa dampaknya terhadap kekuasaan, ketimbang fokus pada apa pelanggarannya. Ketika itu terjadi, hukum kehilangan fungsi korektif dan berubah menjadi instrumen kekuasaan.
Oliver Wendell Holmes Jr., melalui gagasan realisme hukum, menegaskan bahwa hukum pada akhirnya adalah prediksi tentang apa yang akan diputuskan pengadilan. Ironisnya, di Indonesia prediksi itu lebih sering bergantung pada kekuatan politik maupun ekonomi pelaku, bukan pada keadilan substantif. Maka hukum pun tereduksi menjadi alat legitimasi, bukan pembebasan.
Etika yang Terpinggirkan
Immanuel Kant pernah berpesan: “Bertindaklah seolah-olah prinsip tindakanmu dapat dijadikan hukum universal.” Prinsip inilah yang seharusnya menjadi fondasi moral pejabat publik. Sayangnya, korupsi justru mencerminkan gagalnya etika dijadikan pijakan.
Kasus Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, yang ditangkap KPK atas dugaan pemerasan terhadap perusahaan sertifikasi K3, hanyalah satu potret kecil. Barang bukti berupa mobil mewah dan motor Ducati bukan sekadar simbol gaya hidup, melainkan cermin pudarnya refleksi moral dalam jabatan publik.
Demikian pula dengan perkara korupsi kuota haji. Praktik manipulasi di ruang yang semestinya sakral melibatkan kementerian agama hingga penyelenggara ibadah menjadi ironi terbesar. Bagaimana mungkin rukun Islam dijadikan ladang rente? Bukankah mereka yang seharusnya menjadi teladan justru memperdagangkan amanah umat?
Politik Patronase dan Korupsi Struktural
Korupsi di Indonesia bukan hanya pelanggaran hukum, melainkan strategi politik. Penunjukan pejabat publik lebih sering berbasis loyalitas dan patronase ketimbang kompetensi. Jabatan pun berubah menjadi komoditas politik, bukan amanah.
Dalam iklim seperti ini, hukum tak lagi berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan, melainkan hanya pelengkap narasi politik.
Belajar dari Negara Tetangga
- Malaysia berani menindak mantan Perdana Menteri atas dugaan korupsi dana pemerintah. Pesannya jelas: hukum berlaku hingga ke lapisan elite.
- Singapura mempercayakan pemberantasan korupsi pada CPIB, lembaga independen yang terbukti mampu menindak bahkan menteri aktif, seperti kasus Transportasi S. Iswaran. Transparansi bukan sekadar jargon.
- Jepang menjunjung tinggi budaya malu. Seorang pejabat yang tersandung skandal lebih memilih mundur sebelum pengadilan berjalan. Di sana, korupsi adalah aib moral, bukan sekadar pelanggaran administratif.
Jalan Keluar dari Stadium 4
Indonesia tidak kekurangan regulasi; yang kurang adalah keberanian menegakkannya. Ada empat langkah mendesak yang harus ditempuh:
- Reformasi kelembagaan hukum agar benar-benar independen.
- Meritokrasi dalam rekrutmen pejabat untuk menghentikan patronase.
- Pendidikan etika sejak dini agar generasi baru tumbuh dengan integritas.
- Perlindungan bagi whistleblower yang berani membongkar praktik kotor.
Korupsi Bukan Takdir
Korupsi bukan keniscayaan; ia adalah pilihan sistemik. Jika sistem dibiarkan tanpa koreksi, korupsi akan menjelma norma sosial-politik.
Pemberantasan korupsi harus menjadi gerakan nasional, bukan sekadar proyek hukum. Seperti dikatakan Kant, “keadilan akan runtuh jika tidak ditegakkan sebagai prinsip universal.”
Indonesia masih punya peluang untuk membalik keadaan dengan syarat: hukum benar-benar berdiri sebagai panglima, bukan pelayan kekuasaan.
Ditulis oleh: Dodi S. Abdulkadir.