Pelanggaran kode etik hakim

Hakim mengeluarkan pernyataan yang menyudutkan Terdakwa apakah dapat dilaporkan sebagai pelanggaran kode etik?

Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa hakim wajib memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, dan adil, dan sebagai pejabat yang menjalankan kekuasaan kehakiman memiliki tugas dan fungsi menjaga kemandirian peradilan serta bertanggung jawab untuk berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang, memiliki sikap pribadi yang tidak berpihak terhadap setiap orang baik dalam persidangan maupun diluar persidangan, dan bersikap hati-hati, sabar dan santun.

Namun dalam peristiwa pemeriksaan perkara di persidangan hakim menyampaikan pertanyaan-pertanyaan kepada terperiksa (saksi-saksi dan atau terdakwa) yang kemudian atas setiap jawaban terperiksa tersebut hakim menanggapinya dengan mengeluarkan perkataan dan atau melakukan tindakan lain antara lain dengan mengemukakan komentar, ucapan-ucapan, pernyataan-pernyataan dan atau pendapat pribadinya yang menimbulkan kesan keberpihakan, berprasangka atau menyudutkan para pihak (terdakwa dan atau penasehat hukumnya) dan atau merugikan kepentingan hukum terdakwa. Perbuatan hakim tersebut dapat dilaporkan atas dugaan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (“KEPPH”)

Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim merupakan pedoman bagi para Hakim seluruh Indonesia maupun bagi Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI dalam melaksanakan fungsi pengawasan internal maupun eksternal. Adapun prinsip-prinsip dasar KEPPH diimplementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku wajib dipatuhi oleh setiap Hakim, yaitu : (1) Adil, (2) Jujur, (3) Arif dan Bijaksana, (4) Mandiri, (5) Berintegritas Tinggi, (6) Bertanggung Jawab, (7) Menjunjung Tinggi Harga Diri, (8) Berdisiplin Tinggi, (9) Rendah Hati, (10) Bersikap Profesional.

Sehubungan perbuatan hakim dalam pemeriksaan pesidangan yang mengeluarkan perkataan dan atau melakukan tindakan mengemukakan komentar, ucapan-ucapan, pernyataan-pernyataan dan atau pendapat pribadinya yang menimbulkan kesan keberpihakan adalah perbuatan-perbuatan yang diduga bertentangan dengan prinsip-prinsip KEPPH khususnya prinsip berperilaku Adil, Jujur, Arif dan Bijaksana, dan atau bersikap profesional sebagaimana diuraikan di bawah ini.

Prinsip Berperilaku Adil, mengamanatkan hakim dalam melaksanakan tugas atau profesi di bidang peradilan untuk memikul tanggung jawab menegakkan hukum yang adil dan benar harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang. Dalam penerapannya hakim dituntut untuk menghormati asas praduga tak bersalah. Hakim wajib tidak memihak, baik di dalam maupun di luar pengadilan, dan tetap menjaga serta menumbuhkan kepercayaan masyarakat pencari keadilan. Hakim dilarang bersikap, mengeluarkan perkataan atau melakukan tindakan lain yang dapat menimbulkan kesan memihak, berprasangka, mengancam, atau menyudutkan para pihak atau kuasanya, atau saksi-saksi, dan harus pula menerapkan standar perilaku yang sama bagi advokat, penuntut, pegawai pengadilan atau pihak lain yang tunduk pada arahan dan pengawasan hakim yang bersangkutan. Hakim harus memberikan keadilan kepada semua pihak dan tidak beritikad semata-mata untuk menghukum.

Prinsip Berperilaku Jujur,  bermakna Hakim dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah serta tidak berpihak terhadap setiap orang baik dalam persidangan maupun diluar persidangan. Dalam penerapannya hakim harus memastikan bahwa sikap, tingkah laku dan tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan, selalu menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, penegak hukum lain serta para pihak berperkara, sehingga tercermin sikap ketidakberpihakan hakim dan lembaga peradilan (impartiality).

Prinsip Berperilaku Arif dan Bijaksana, bermakna mampu bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat baik norma-norma hukum, norma-norma keagamaan, kebiasan-kebiasan maupun kesusilaan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya. Dalam penerapannya hakim diwajibkan untuk menghindari tindakan tercela.

Prinsip Bersikap Profesional, bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas. Sikap profesional akan mendorong terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga tercapai setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif dan efisien. Dalam penerapannya hakim wajib menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan, atau mengabaikan fakta yang dapat menjerat terdakwa atau para pihak atau dengan sengaja membuat pertimbangan yang menguntungkan terdakwa atau para pihak dalam mengadili suatu perkara yang ditanganinya.

Pelanggaran terhadap KEPPH dapat diberikan sanksi. Dimana untuk menentukan sanksi yang layak dijatuhkan, harus dipertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengan pelanggaran, yaitu latar belakang, tingkat keseriusan, dan akibat dari pelanggaran tersebut terhadap lembaga peradilan maupun pihak lain. Hakim yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan ini dapat diperiksa oleh Mahkamah Agung RI dan/atau Komisi Yudisial RI.

Pengawasan oleh Mahkamah Agung R.I. dan Komisi Yudisial R.I.

Pengawasan perilaku hakim diselenggarakan oleh Mahkamah Agung RI berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (“UU 49/1986”), dan Komisi Yudisial RI berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial (“UU 18/2011”).

Dimana ketentuan pasal 13 A UU 49/1986 menyebutkan pengawasan internal atas tingkah laku Hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung dan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, pengawasan eksternal atas perilaku hakim dilakukan oleh Komisi Yudisial. Selanjutnya dijelaskan bahwa pengawasan internal atas tingkah laku hakim masih diperlukan meskipun sudah ada pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Hal ini dimaksudkan agar pengawasan lebih komprehensif sehingga diharapkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim betul-betul dapat terjaga. Komisi Yudisial dalam menjalankan pengawasan hakim berkoordinasi dengan Mahkamah Agung, dan dalam hal terdapat perbedaan antara hasil pengawasan internal yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan hasil pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial, pemeriksaan bersama dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

Sehubungan dengan judul tulisan di atas, maka tindakan yang dapat dilakukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya terhadap perilaku hakim di dalam persidangan yang diduga melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, adalah membuat pengaduan melalui Mahkamah Agung RI dan atau Komisi Yudisial RI, sebagai berikut:

a. Pengaduan melalui Mahkamah Agung R.I.

Pengaduan atas perilaku hakim yang diduga melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim dapat dilakukan pelapor melalui prosedur yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2016 Tentang Pedoman Penanganan Pengaduan (Whistleblowing System) di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan Yang Berada Dibawahnya (“Perma 9/2016). Pengaduan disampaikan kepada Mahkamah Agung, satuan kerja eselon I pada Mahkamah Agung, Pengadilan Tingkat Banding atau Pengadilan Tingkat Pertama secara lisan dan tertulis melalui Meja Pengaduan pada Mahkamah Agung, satuan kerja eselon I pada Mahkamah Agung, Pengadilan Tingkat Banding atau Pengadilan Tingkat Pertama dan/atau secara elektronik melalui aplikasi SIWAS MA-RI di https://siwas.mahkamahagung.go.id

b. Pengaduan melalui Komisi Yudisial R.I.

Komisi Yudisial R.I. memiliki kewenangan menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana diamanatkan Pasal 13 UU 18/2011. Komisi Yudisial mempunyai tugas: (a) melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku Hakim; (b) menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim; (c) melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup; (d) memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim; dan (e) mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat Hakim.

Dalam melakukan pengawasan terhadap perilaku Hakim, Komisi Yudisial menerima laporan masyarakat dan/atau informasi tentang dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim serta meminta keterangan atau data kepada Badan Peradilan dan/atau Hakim dan Pimpinan Badan Peradilan dan/atau Hakim wajib memberikan keterangan atau data yang diminta oleh Komisi Yudisial. Pelaksanaan tugas pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku Hakim, Komisi Yudisial: (a) melakukan verifikasi terhadap laporan; (b) melakukan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran; (c) melakukan pemanggilan dan meminta keterangan dari Hakim yang diduga melanggar pedoman kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim untuk kepentingan pemeriksaan; melakukan pemanggilan dan meminta keterangan dari saksi; dan (e) menyimpulkan hasil pemeriksaan.

Hasil pemeriksaan dan verifikasi atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim dapat menyatakan: (a) dugaan pelanggaran dinyatakan terbukti; atau (b) dugaan pelanggaran dinyatakan tidak terbukti. Dalam hal dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim dinyatakan terbukti, maka Komisi Yudisial mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap Hakim yang diduga melakukan pelanggaran kepada Mahkamah Agung. Sanksi yang diberikan berupa:

  1. Sanksi ringan terdiri atas: 1) teguran lisan; 2) teguran tertulis; atau 3) pernyataan tidak puas secara tertulis.

  2. Sanksi sedang terdiri atas: 1) penundaan kenaikan gaji berkala paling lama 1 (satu) tahun; 2) penurunan gaji sebesar 1 (satu) kali kenaikan gaji berkala paling lama 1 (satu) tahun; 3) penundaan kenaikan pangkat paling lama 1 (satu ) tahun; atau 4) hakim nonpalu paling lama 6 (enam) bulan,

  3. Sanksi berat terdiri atas: 1) pembebasan dari jabatan struktural; 2) hakim non palu lebih dari 6 (enam) bulan sampai dengan 2 (dua) tahun; 3) pemberhentian sementara; 4) pemberhentian tetap dengan hak pensiun; atau 5) pemberhentian tetap tidak dengan hormat.

Tata cara laporan masyarakat dapat disampaikan melalui laman Layanan Publik, Pengawasan Perilaku Hakim di https://www.komisiyudisial.go.id,

 

Penulis: Tabrani Abby S.H., M.Hum.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *